No comment yet

Cerita Rakyat

I. Pung Buaja Na Pung Kura-Kura

Dahulu kala, di tepi sungai Jene Berang dihuni seekor buaya (Pung Buaja). Pung Buaja itu merasa paling hebat dengan binatang lainnya, anatara lain paling hebat lari.
suatu ketika, dari jauh ia melihat Pung Kura-Kura berjalan agak lamban. "Hai Kura, jalanmu lambat sekali, apa tak bisa cepat" ejek Pung Buaja
"Memang jalanku lambat Buaja, tapi kalau mau tanding lari, kami siap menantangmu, asal kau lari di bawah sungai, saya di pinggiran" tantang Pung Kura-Kura.
Mendengar tantangan itu, Pung Buaja tak percaya "Mana mungkin jalannya pelan-pelan bisa mengalahkanku. lihat kehebatanku, dalam waktu singkat kami bisa mencapa puluhan meter. kamu satu jam untung kalau ada satu meter" ejek si Buaja lagi.
"Kalau begitu Buaja, besok kita lomba lari" tantang si Kura.
"Oke! saya siap terima tantanganmu Pung Kura-Kura" kata Pung Buaja
Pada malam harinya, Pung Kura-kura mengumpulkan teman-temannya. mereka lalu memasang strategi. Kura yang hampir ribuan itu kemudian berjejer di sepanjang pinggiran sungai Jene Berang.
setelah mantap, keesokan harinya Pung Buaja datang menerima tantang itu. Pung Buaja lalu turun ke Sungai dan Pung Kura-kura tetap di pinggiran sungai.
ketika pertandingan dimulai, Pung Buaja pun mulai ambil langkah seribu. larinya kencang sekali, namun setiap saat Pung Buaja memanggil Pung Kura-kura "Dimana kau Kura" panggil Buaja, "Uk... saya ada di depan mu" kata Pung Kura. begitu seterusnya, setiap memanggil selalu kura yang didepannya menyahut.
ketika hampir di finish, Pung Buaja memanggil Pung Kura-Kura lagi, dari jauh terdengar suara sahutan Pung Kura-Kura "Saya sudah lama di finish Pung Buaja, dari mana kamu" kata Pung Kura-Kura.
Pung Buaja yang sudah terlihat lelah, tak bisa berkata apa-apa dan mengaku kalah atas kehebatan Pung Kura-Kura. "Saya akui kehebatanmu lari Pung Kura-Kura" aku Pung Buaja.
Mulai saat itu, Pung Buaja mulai berjanji untuk tidak mengejek lagi Pung Kura-Kura. kedunya lalu menjadi sahabat karib.


II. Putri Raja Bima dan Panglima Bone

Raja Bima , Sultan Malikuk Said mempunyai seorang putri yang bernama Fatimah , seorang putri yang terkenal sakti oleh rakyatnya bahkan hingga daerah lainnya dan diberi gelar oleh orang Makassar dengan sebutan Karaeng Basse’ Bumbung kebo’. Ketika itu, Sultan Malikul Said bertanya kepada Fatimah, wahai anakku Fatimah , tidak terlintas kah di benakmu untuk memiliki seorang pendamping.

Fatimah pun menjawab, ada apa gerangan sehingga Ayah berkata demikian? Sultan Malikul Said pun menjawab, Karena dari sekian banyak pria yang datang melamar mu tidak seorang pun, yang kamu terima. Fatimah pun menjawab, Aku tidak akan menikah, selama Aku belum mendapatkan seorang Pria, yang mempunyai ilmu setara atau melebihi ilmu yang Aku punya walaupun dia, menyerupai hewan.

Mendengar perkataan putrinya, Sultan Malikul Said pun, bertanya kepada Fatimah, wahai Anak ku jika pria itu ada darimana asalnya. Fatimah pun, menjawab, kelak dia akan datang dari arah Ko’banga ( kerajaan Gowa) dengan menggunakan perahu. Sultan Malikul Said pun menjawab, Jika itu yang kamu inginkan Aku tidak dapat berbuat apa-apa.

Hari-hari pun berlalu namun pria itu belum datang juga, akhirnya Sultan Malikul Said datang kepada anaknya, wahai anak ku sampai kapan kah kamu akan menunggunya? Fatimah pun menjawab, samapai dia datang, tidak peduli berapa lama Aku akan menunggu. Secara diam-diam Sultan Malikul Said, menyebarkan kabar mengenai putrinya yang menginginkan seorang pria yang mempunyai ilmu yang setara dengannya atau bahkan yang melebihi ilmunya.

Pada akhirnya kabar mgenai pria yang diinginkan Fatimah samapi ke Ko’banga, dan akhirnya di dedengar oleh panglima kerajaan Bone, yang bernama, Abdullah yang terkenal akan ke saktiannya. Akhirnya Abdullah pun, pergi menuju Kerajaan Bima, dan sebelum dia pergi, dia berpesan kepada semuah orang yang ada di Mare’ , Aku tidak akan kembali sebelum Aku membawanya pulang, Abdullah pun pergi menuju Bima.

Dan akhirnya Abudllah pun tiba di Sumba, tanpa di beri tahu, Fatimah sudah menyadari akan kehadiran orang yang dicarinya itu, tanpa sepatah kata kepada Sultan, Fatimah lansung menuju Sumba tempat dimana, Abdullah datang. Akhirnya Fatimah pun tiba di Sumba, dan menuju kapal yang di tumpangi Abdullah, saat Fatima tiba disana Abdullah pun berkata jika Aku orang yang kamu nanti naiklah keatas perahu ku dan Aku akan membawa mu pergi. Fatimah pun naik keatas perahu Abdullah, dan akhirnya mereka pun berlayar menuju Bone.

Saat setelah kepergian Fatimah, Sultan mengutus Adik Fatimah yang bernama, I Ratu pergi menyusul Fatimah ke Bone untuk menyampaikan jikalau Sultan Malikul Said, merestui hubungan mereka. Dan saat itu, Fatimah dan I Ratu tinggal dan menetap di Bone bersama Abdullah, tepatnya di Mare’ karalla dan pindah ke Leang-leang , Maros dan disana Abdullah diangkat sebagai pemimpin atau raja gallarrang Leang-leang.

III.  Dato Museng & Maipa Deapati

Bukan hanya cerita Sawerigading yang di abadikan sebagai cerita percintaan sejati di tanah Sulawesi. Ada juga Cerita Percintaan Klasik yang tidak kalah serung yang dimana cerita ini mengangkat Kisah Datu Museng dan Maipa Deapati. Percintaan Anak Raja Gowa yang melarikan di dari Makassar ke Sumbawa dikarenakan taktik adu domba belanda dan jatuh cinta kepada Maipa Deapati Putri Sultan Lombok
Cerita bermula ketika terjadi kekacauan di Butta Gowa, akibat adu domba Penjajah Belanda. Addengareng terpaksa melarikan diri dengan cucunya Datu Museng menyeberangi lautan ke Negeri Sumbawa.
Datu Museng tumbuh menjadi dewasa dan bertemu dengan Maipa Deapati di Pondok Pengajian Mempewa. Ia jatuh cinta pada pandangan pertama. Namun cintanya menjadi cinta terlarang karena Maipa Deapati telah ditunangkan dengan Putera Sultan Lombok, Pangeran Mangalasa.
Setelah Kakek Datu Museng Addengareng mengetahui bahwa cucunya Mencintai Maipa Deapati Kaget bukan Kepala. Karena analogi sang kakek mereka Hanyalah Emas yang sudah dilumuri dengan Lumpur sedangkan Puti Maipa Deapati Anak Sultan Lombok. Setelah menimbang Addengareng menyuruh Cucunya Datu Museng Berkangkat Ke Mekkah Untuk belajar Ilmu Agama (Ilmu Iklas).
Setelah kembali dari Tanah suci datu museng merasakan rindu akan Maipa Deapati dan ingin melihatnya. Ternyata Sang Putri Maipa terbuju Sakit. Datu Museng langsung menolongnya dengan Ilmu yang di dapatnya di Tanah Suci Mekkah
Kecemburuan pun terjadi pada Pangeran Mangalasa melihat Maipa Sudah jatuh cinta terhadap Datu Museng. Sang Pangeran Mangalasa pun bersekutu dengan belanda untuk menbinasakan datu museng. tapi memang Datu Museng yang dikenal Sakti itu mampu mengalahkan Pangeran Mangalasa dan serdadu belanda.
Akhirnya Sultan Lombok Menikahkan Datu Museng dan Putrinya yang tercinta Maipa Deapati dan Datu Museng diberikan Pangkat Panglima Perang. Tapi belum beberapa lama menikah, berhembus kabar di tanah makassar telah terjadi kekacauan. Sultan Lombok menyuruh Datu Museng berangkat ke Makassar untuk menyelesaikan permasalahan tersebut
Datu Museng bersama istrinya kembali ke Makassar. Namun kapten Belanda justru jatuh cinta kepada Maipa Deapati. Kapten ini berusaha menembak Datu Museng namun Maipa menjadikan tubuhnya untuk melindungi suaminya.
Adapun perkataan Maipa Deapati kepada datu museng pada saat terbaring di pangkuan nya
Daengku Datu Museng, permata hatiku, Tak kan ku gentar walau jiwa melayang, Kebimbangan telah kucampakkan, sebab keyakinan telah kupastikan, Perahu kematian siap kutumpangi. Kemudi telah ku…kuh di tangan, Telah kutetapkan haluan menyongsong tujuan, Pada kematian yang hangat dan menyenangkan
Maipa meninggal saat menghalang peluru yang hendak ditembakkan ke Datu Museng. Datu Museng teringat dengan janji cintanya sehidup semati. Ia pun melepaskan semua jimat dan kesaktiannya dan membiarkan Kapten Belanda menembaknya.

IV. Sawerigading
Sawerigading adalah Putra Raja Luwu Batara Lattu’, dari Kerajaan Luwu Purba, Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat, sawerigading berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas (lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung. Jadi, sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di atas bambu betung. Menurut cerita, ketika Bataraguru (kakek Sawerigading yang merupakan keturunan dewa) pertama kali diturunkan ke bumi, ia ditempatkan di atas bambu betung. Sawerigading mempunyai saudara kembar perempuan yang bernama We Tenriabeng. Namun, sejak kecil hingga dewasa mereka dibesarkan secara terpisah, sehingga mereka tidak saling mengenal. Suatu ketika, saat bertemu dengan adik kandungnya itu, Sawerigading jatuh cinta dan berniat untuk melamarnya. Berhasilkah Sawerigading menikahi We Tenriabeng, saudara kandungnya itu? Kisah selengkapnya dapat Anda ikuti dalam cerita Sawerigading berikut ini.

* * *

Alkisah, di daerah Luwu, Sulawesi Selatan, hiduplah seorang raja bernama La Togeq Langiq atau lebih dikenal dengan panggilan Batara Lattu’. Sang Raja mempunyai dua istri, yaitu satu dari golongan manusia biasa (penduduk dunia nyata) bernama We Opu Sengngeng, dan satu lagi berasal dari bangsa jin. Dari perkawinannya dengan We Opu Sengengeng lahir sepasang anak kembar emas, yakni seorang laki-laki bernama Sawerigading, dan seorang perempuan bernama We Tenriabeng. Berdasarkan ramalan Batara Guru (ayah Raja Luwu), Sawerigading dan We Tenriabeng kelak akan saling jatuh cinta dan menikah. Padahal menurut adat setempat, seseorang sangat pantang menikahi saudara kandung sendiri. Agar tidak melanggar adat tersebut, Raja Luwu pun membesarkan kedua anak kembarnya tersebut secara terpisah. Ia menyembunyikan anak perempuannya (We Tenriabeng) di atas loteng istana sejak masih bayi.

Waktu terus berjalan. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah dan tampan, sedangkan We Tenriabeng tumbuh menjadi gadis yang cantik jelita. Namun, sepasang anak kembar tersebut belum saling mengenal.

Pada suatu hari, Sawerigading bersama sejumlah pengawal istana diutus oleh ayahnya berlayar ke Negeri Taranati (Ternate) untuk mewakili Kerajaan Luwu dalam sebuah pertemuan para pangeran. Namun sebenarnya tujuan utama Sawerigading diutus pergi jauh ke Ternate karena saudara kembarnya We Tenriabeng akan dilantik menjadi bissu dalam sebuah upacara umum, yang tentu saja tidak boleh dihadirinya karena dikhawatirkan akan bertemu dengan We Tenriabeng.

Dalam perjalanan menuju ke Negeri Ternate, Sawerigading mendapat kabar dari seorang pengawalnya bahwa ia mempunyai saudara kembar yang cantik jelita. Sawerigading tersentak kaget mendengar kabar tersebut.

“Apa katamu? Aku mempunyai saudara kembar perempuan?” tanya Sawerigading dengan kaget.

“Benar, Pangeran! Saudaramu itu bernama Tenriabeng. Ia disembunyikan dan dipelihara di atas loteng istana sejak masih kecil,” ungkap pengawal itu.

Sekembalinya dari Ternate, Sawerigading langsung mencari saudara kembarnya yang disembunyikan di atas loteng istana. Tak pelak lagi, Sawergading langsung jatuh cinta saat melihat saudara kembarnya itu dan memutuskan untuk menikahinya. Raja Luwu Batara Lattu’ yang mengetahui rahasia keluarga istana tersebut terbongkar segera memanggil putranya itu untuk menghadap.

“Wahai, Putraku! Mengharap pendamping hidup untuk saling menentramkan hati bukanlah hal yang keliru. Tapi, perlu kamu ketahui bahwa menikahi saudara kandung sendiri merupakan pantangan terbesar dalam adat istiadat kita. Jika adat ini dilanggar, bencana akan menimpa negeri ini. Sebaiknya urungkanlah niatmu itu, Putraku!” bujuk Raja Luwu Batara Lattu’.

Namun, bujukan Ayahandanya tersebut tidak menyurutkan niat Sawerigading untuk menikahi adiknya. Namun, akhirnya Sawerigading mengalah setelah We Tenriabeng memberitahunya bahwa di Negeri Cina (bukan Cina di Tiongkok, tapi di daerah Tanete, Kabupetan Bone, Sulawesi Selatan) mereka mempunyai saudara sepupu yang sangat mirip dengannya.

“Bang! Pergilah ke Negeri Cina! Kita mempunyai saudara sepupu yang bernama We Cudai. Ayahanda pernah bercerita bahwa aku dan We Cudai bagai pinang dibelah dua,” bujuk We Cudai.

“Benar, Putraku! Wajah dan perawakan We Cudai sama benar dengan adikmu, We Tenriabeng,” sahut Raja Luwu Batara Lattu’.

Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, We Tenriabeng memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincinnya kepada Sawerigading. We Tenriabeng juga berjanji jika perkataannya tidak benar, ia berbersedia menikah dengan Sawerigading.

“Bang! Jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut We Cudai, gelang dan cincin ini tidak cocok dengan pergelangan dan jarinya, aku bersedia menikah dengan Abang,” kata We Tenriabeng.

Akhirnya, Sawerigading pun bersedia berangkat ke Negeri Cina, walaupun dihatinya ada rasa kecewa kepada orang tuanya karena tidak diizinkan menikahi adiknya. Untuk berlayar ke Negeri Cina, Sawerigading harus menggunakan kapal besar yang terbuat dari kayu welérénngé (kayu belande) yang mampu menahan hantaman badai dan ombak besar di tengah laut.

“Wahai, Putraku! Untuk memenuhi keinginanmu memperistri We Cudai, besok pergilah ke hulu Sungai Saqdan menebang pohon welérénngé raksasa untuk dibuat perahu!” perintah Raja Luwu Batara Lattu’.

Keesokan harinya, berangkatlah Sawerigading ke tempat yang dimaksud ayahnya itu. Ketika sampai di tempat itu, ia pun segera menebang pohon raksasa tersebut. Anehnya, walaupun batang dan pangkalnya telah terpisah, pohon raksasa itu tetap tidak mau roboh. Namun, hal itu tidak membuatnya putus asa. Keesokan harinya, Sawerigading kembali menebang pohon ajaib itu, tapi hasilnya tetap sama. Kejadian aneh ini terulang hingga tiga hari berturut-turut. Sawerigading pun mulai putus asa dan hatinya sangat galau memikirkan apa gerangan penyebabnya.

Mengetahui kegalauan hati abangnya, pada malam harinya We Tenriabeng secara diam-diam pergi ke hulu Sungai Saqdan. Sungguh ajaib! Hanya sekali tebasan, pohon raksasa itu pun roboh ke tanah. Dengan ilmu yang dimilikinya, We Tenriabeng segera mengubah pohon raksasa itu menjadi sebuah perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera luas.

Keesokan harinya, Sawerigading kembali ke hulu Sungai Saqdan. Betapa terkejutnya ia ketika melihat pohon welérénngé raksasa yang tak kunjung bisa dirobohkannya kini telah berubah menjadi sebuah perahu layar.

“Hai, siapa yang melakukan semua ini?” gumam Sawerigading heran.

“Ah, tidak ada gunanya aku memikirkan siapa yang telah membantuku membuat perahu layar ini. Yang pasti aku harus segera pulang untuk menyiapkan perbekalan yang akan aku bawa berlayar ke Negeri Cina,” pungkasnya seraya bergegas pulang ke istana.

Setelah menyiapkan sejumlah pengawal dan perbekalan yang diperlukan, berangkatlah Sawerigading bersama rombongannya menuju Negeri Cina. Dalam perjalanan, mereka menemui berbagai tantangan dan rintangan seperti hantaman badai dan ombak serta serangan para perompak. Namun, berkat izin Tuhan Yang Mahakuasa, Sawerigading bersama pasukannya berhasil melalui semua rintangan tersebut dan selamat sampai di tujuan.

Setibanya di Negeri Cina, Sawerigading mendengar kabar bahwa We Cudai telah bertunangan dengan seorang pemuda bernama Settiyabonga. Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk melihat langsung kecantikan wajah We Cudai. Untuk itu, ia pun memutuskan untuk menyamar menjadi pedagang orang oro (berkulit hitam). Untuk memenuhi penyamarannya, ia harus mengorbankan satu nyawa orang oro sebagai tumbal. Pada mulanya, orang oro yang akan dijadikan tumbal tersebut mengiba kepadanya.

“Ampun, Tuan! Jika kulit saya dijadikan pembungkus tubuh Tuan, tentu saya meninggal.”

Namun, setelah Sawerigading membujuknya dengan tutur kata yang halus, akhirnya orang oro itu pun bersedia memenuhi permintaannya. Setelah itu, Sawerigading segera menuju ke istana sebagai oro pedagang. Setibanya di istana, ia terkagum-kagum melihat kecantikan We Cudai.

“Benar kata Ayahanda, We Cudai dan We Tenriabeng bagai pinang dibelah dua. Perawakan mereka benar-benar serupa,” ucap Sawerigading.

Setelah membuktikan kecantikan We Cudai, Sawerigading segera mengirim utusan untuk melamarnya dan lamarannya pun diterima oleh keluarga istana Kerajaan Cina. Namun, sebelum pesta pernikahan dilangsungkan, We Cudai mengirim seorang pengawal istana untuk mengusut siapa sebenarnya calon suaminya itu.

Suatu hari, utusan itu mendekati perahu layar Sawerigading yang tengah bersandar di pelabuhan. Kebetulan, saat itu para pengawal Sawerigading yang berbulu lebat sedang mandi. Utusan itu ketakukan saat melihat tampang mereka yang dikiranya “orang-orang biadab” dan mengira bahwa wujud Sawerigading serupa dengan mereka. Ia pun segera kembali ke istana untuk menyampaikan kabar tersebut kepada We Cudai. Mendengar kabar tersebut, We Cudai pun berniat untuk membatalkan pernikahannya dan mengembalikan semua mahar Sawerigading.

Sawerigading yang mendengar kabar buruk tersebut segera menghapus penyamarannya sebagai orang oro dan mengenaikan pakaian kebesarannya, lalu segera menghadap Raja Cina. Sesampainya di istana, ia pun segera menceritakan asal-usul dan maksud kedatangannya ke Negeri Cina.

“Ampun, Baginda Raja! Perkenalkan nama Ananda Sawerigading Putra Raja Luwu Batara Lattu’ dari Sulawesi Selatan. Ananda datang menghadap membawa amanat Ayahanda, dengan harapan sudilah kiranya Baginda menerima Ananda sebagai menantu Baginda,” ungkap Sawerigading.

“Hai, Anak Muda! Kamu jangan mengaku-ngaku! Apa buktinya bahwa kamu adalah putra dari saudaraku itu?” tanya Raja Cina.

Sawerigading pun segera memperlihatkan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin pemberian We Tenriabeng kepada Raja Cina seraya menceritakan semua kejadian yang dialaminya hingga ia bisa sampai ke Negeri Cina. Mendengar harapan dan permohonan saudaranya melalui keponakannya itu, Raja Cina terdiam sejenak, lalu berkata:

“Baiklah! Sekarang aku percaya bahwa kamu adalah keponakanku. Ayahandamu dulu pernah mengirim kabar kepadaku bahwa ia mempunyai anak kembar emas. Anaknya yang perempuan wajah dan perawakaannya serupa dengan putriku.”

Untuk lebih meyakinkan dirinya, Raja Cina segera memanggil putrinya untuk menghadap. Tak berapa lama, We Cudai pun datang dan duduk di samping ayahandanya. Saat melihat pemuda tampan yang duduk di hadapan ayahandanya, We Cudai tampak gugup dan hatinya tiba-tiba berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada pemuda itu yang tak lain adalah Sawerigading.

“Ada apa gerangan Ayahanda memanggil Ananda?” tanya We Cundai tertunduk malu-malu.

“Wahai Putriku, ketahuilah! Sesungguhnya orang yang melamarmu beberapa hari yang lalu ternyata sepupumu sendiri. Namanya Sawerigading. Ayahanda bersaudara dengan ayahnya. Tapi, untuk menyakinkan kebenaran ini, cobalah kamu cocokkan panjang rambut ini dengan panjang rambutmu dan pakailah gelang dan cincin ini!” pinta Raja Cina seraya memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin itu kepada putrinya.

Setelah We Cudai mengenakan gelang dan cincin tersebut, maka semakin yakinlah Raja Cina bahwa Sawerigading benar-benar keponakannya. Gelang dan cincin tersebut semuanya cocok dikenakan oleh We Cudai. Begitu pula rambutnya sama panjangnya dengan rambut We Tenriabeng.

“Bagaimana, Putriku! Apakah kamu bersedia menerima kembali lamaran Sawerigading untuk mempererat tali persaudaraan kita dengan keluarga Sawerigading di Sulawesi Selatan?” tanya Raja Cina.

“Baik, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menikah dengan Sawerigading. Ananda mohon maaf karena sebelumnya mengira Sawerigading bukan dari keluarga baik-baik,” jawab We Cudai malu-malu.

Betapa bahagianya perasaan Raja Cina mendengar jawaban putrinya itu. Demikian pula yang dirasakan Sawerigading karena lamarannya diterima. Dengan perasaan bahagia, ia segera kembali ke kapalnya untuk menyampaikan berita gembira itu kepada para pengawalnya dan memerintahkan mereka untuk mengangkat semua barang bawaan yang ada di perahu ke istana untuk keperluan pesta.  Tiga hari kemudian, pesta pernikahaan itu pun dilangsungkan dengan meriah. Segenap rakyat Negeri Cina turut berbahagia menyaksikan pesta pernikahan tersebut.

Setahun kemudian, Sawerigading dan We Cudai dikaruniai oleh seorang anak dan diberi nama La Galigo. Namun, bagi We Cudai, kebahagiaan tersebut terasa belum lengkap jika belum bertemu dengan mertuanya. Suatu hari, ia pun mengajak suaminya ke Sulawesi Selatan untuk mengunjungi mertuanya. Mulanya, Sawerigading menolak ajakan istrinya, karena ia sudah berjanji tidak ingin kembali ke kampung halamannya karena kecewa kepada kedua orang tuanya yang telah menolak keinginannya menikahi saudara kembarnya. Namun, karena istrinya terus mendesaknya, akhirnya ia pun menyetujuinya.

Keesokan harinya, berangkatlah sepasang suami istri itu bersama beberapa orang pengawal menuju Negeri Luwu. Akan tetapi, mereka tidak membawa serta putra mereka (La Galigo) karena masih bayi. Dalam perjalanan, Sawerigading bersama rombongannya kembali menemui banyak rintangan. Perahu yang mereka tumpangi hampir tenggelam di tengah laut karena dihantam badai dan gelombang besar. Berkat pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, mereka pun selamat sampai di Nengeri Luwu.

Setelah bertahun-tahun lamanya Sawerigading bersama istrinya tinggal di Negeri Luwu terdengarlah kabar bahwa di Tanah Jawa berkembang ajaran agama Islam. Sawerigading pun segera memerintahkan pasukannya untuk memerangi ajaran tersebut. Namun apa yang terjadi setelah pasukannya tiba di Tanah Jawa? Rupanya, mereka bukannya memerangi penganut ajaran agama tersebut, tetapi justru berbalik memeluk agama Islam. Bahkan sebagian anggota pasukannya memutuskan untuk menetap di Tanah Jawa. Sementara anggota pasukan lainnya kembali ke Negeri Luwu untuk melaporkan kabar tersebut kepada Sawerigading dan sekaligus mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Karena kesal atas penghianatan pasukannya itu dan tidak ingin masuk agama Islam, Sawerigading bersama istrinya memutuskan untuk kembali ke Negeri Cina dan berjanji tidak ingin menginjakkan kaki lagi di Negeri Luwu. Dalam perjalanan pulang ke Negeri Cina, kapal yang mereka tumpangi karam di tengah laut. Konon, pasangan suami istri tersebut menjadi penguasa buriq liu atau peretiwi (dunia bawah laut).

* * *

Demikian cerita Sawerigading dari daerah Luwu, Sulawesi Selatan. Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah ganjaran yang diterima dari sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini ditunjukkan oleh perilaku Sawerigading yang senantiasa tabah dalam menghadapi berbagai rintangan dan cobaan untuk mencapai keinginannya, yakni menikahi We Cudai yang berada di Negeri Cina. Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:

apa tanda Melayu beradat,
bekerja dengan penuh semangat

kerja cermat membawa berkah
kerja hemat membawa manfaat
kerja keras memberi puas
kerja tabah memberi tuah
kerja taat membawa berkat 
Sumber:

No comment yet

Rumah Adat Sulawesi Selatan

Rumah Panggung Kayu
(Rumah Tradisional Bugis Sulawesi Selatan)
Saoraja (Rumah Bangsawan)
1. Asal-usul
Rumah Panggung Kayu adalah salah satu rumah tradisional Bugis yang berbentuk persegi empat memanjang ke belakang. Konstruksi bangunan rumah ini dibuat secara lepas-pasang (knock down) sehingga dapat dipindahkan dari satu tempat ke tempat lain. Konsep empat persegi panjang ini bermula dari pandangan hidup masyarakat Bugis pada zaman dahulu tentang bagaimana memahami alam semesta secara universal. Dalam falsafah dan pandangan hidup mereka terdapat istilah sulapa’ èppa, yang berarti persegi empat, yaitu sebuah pandangan dunia empat sisi yang tertujuan untuk mencari kesempurnaan ideal dalam mengenali dan mengatasi kelemahan manusia (Elizabeth Morrell, 2005: 240). Menurut mereka, segala sesuatu baru dikatakan sempurna dan lengkap jika memiliki sulapa’ èppa. Demikian pula pandangan mereka tentang rumah, yaitu sebuah rumah akan dikatakan bola gènnè atau rumah sempurna jika berbentuk segi empat, yang berarti memiliki empat kesempurnaan (http://www.sabahforum.com).
Orang Bugis juga mengenal sistem tingkatan sosial yang dapat mempengaruhi bentuk rumah mereka, yang ditandai dengan simbol-simbol khusus. Berdasarkan pelapisan sosial tersebut, maka bentuk rumah tradisional orang Bugis dikenal dengan istilah Saoraja (Sallasa) dan Bola. Saoraja berarti rumah besar, yakni rumah yang ditempati oleh keturunan raja atau kaum bangsawan, sedangkan bola berarti rumah biasa, yakni rumah tempat tinggal bagi rakyat biasa (Izarwisma Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 24).
Dari segi struktur dan konstruksi bangunan, kedua jenis rumah tersebut tidak memiliki perbedaan yang prinsipil. Perbedaannya hanya terletak pada ukuran rumah dan status sosial penghuninya. Pada umumnya, Saoraja lebih besar dan luas daripada Bola yang biasanya ditandai oleh jumlah tiangnya. Saoraja memiliki 40 – 48 tiang, sedangkan Bola hanya memiliki 20 – 30 tiang. Sementara perbedaan status sosial penghuninya dapat dilihat pada bentuk tutup bubungan atap rumah yang disebut dengan timpak laja. Bangunan Saoraja memiliki timpak laja yang bertingkat-tingkat yaitu antara 3 - 5 tingkat, sedangkan timpak laja pada bangunan Bola tidak bertingkat alias polos (Izarwisma, dkk., [ed.], 1985: 27). Semakin banyak jumlah tingkat timpak laja sebuah Saoraja, semakin tinggi pula status sosial penghuninya.


Rumah bagi orang Bugis tidak sekedar tempat tinggal atau obyek materiil yang indah dan menyenangkan. Menurut Y.B. Mangunwijaya, pendirian rumah tradisional Bugis lebih diarahkan kepada kelangsungan hidup manusia secara kosmis (http://syahriartato.wordpress.com). Oleh karena itu, konstruksi rumah tradisional Bugis sangat dipengaruhi oleh pemahaman atas struktur kosmos.
Menurut pandangan hidup masyarakat Bugis zaman dahulu, alam raya (makrokosmos) tersusun atas tiga tingkatan, yaitu alam atas (botting langik), alam tengah (lino), dan alam bawah (uriliyu). Alam atas adalah tempat para dewa yang dipimpin oleh satu dewa tertinggi bernama Dewata SeuwaE (Dewa Tunggal). Alam tengah adalah bumi yang dihuni oleh para wakil dewa tertinggi untuk mengatur hubungan manusia dengan dewa tertinggi, serta mengatur jalannya tata tertib kosmos. Alam bawah adalah tempat yang paling dalam yaitu berada di bawah air (http://syahriartato.wordpress.com). Berdasarkan pandangan hidup tersebut, maka konstruksi rumah tradisional Bugis harus terdiri tiga tingkatan, yaitu rakkeang (alam atas), alè bola (alam tengah), awa bola (alam bawah), di mana keseluruhan bagian tersebut masing-masing memiliki fungsi.
Untuk mendirikan rumah adat Bugis, diperlukan peran seorang Sanro Bola atau dukun rumah. Sanro Bola dianggap menguasai ilmu pengetahuan tentang tata cara pengerjaan rumah, mulai dari pemilihan lokasi dan waktu, jenis kayu, arah letak rumah, dan pengerjaan elemen-elemen atau ornamen bangunan rumah hingga pada konstruksi serta segala pelengkapnya. Selain itu, Sanro Bola juga mengetahui cara-rara mengusir makhluk-makhluk halus melalui doa dan mantra-mantra. Menurut keyakinan orang Bugis, kayu yang akan ditebang untuk tiang dan tempat untuk mendirikan rumah terkadang dihuni oleh makhluk-makhluk halus dan roh-roh jahat. Oleh karena itu, penghuni rumah harus meminta bimbingan kepada seorang Sanro Bola. Jika tidak, maka si penghuni rumah kelak akan ditimpa penyakit, malapetaka, atau meninggal dunia (Nurhayati Djamas, 1998: 74).
Tradisi masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan mendirikan rumah senantiasa mempertimbangkan keselamatan. Mereka percaya bahwa hidup selaras dan harmoni dengan tatanan kehidupan alam akan mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, dan kedamaian. Sebaliknya, manusia yang menyimpang dari tatanan dan aturan tersebut niscaya akan mendapatkan sangsi atau hukuman berupa malapetaka. Untuk itulah, mereka senantiasa menjaga keselarasan dengan alam melalui tanda-tanda atau simbol, yaitu berupa mitos asal dan upacara-upacara ritual. Menurut Waterson (dalam Robinson, 2005: 273), praktik-pratik ritual tersebut menunjukkan bahwa masyarakat Bugis telah menyatu dengan kosmos makhluk lainnya.
Bola Ogi (Rumah Rakyat Biasa)
2. Bahan-bahan dan Tenaga
a. Bahan-bahan
Ketika hendak mendirikan rumah, orang Bugis selalu selektif dalam memilih bahan atau kayu yang bermutu dan bernilai filosofi. Bahan-bahan yang biasa digunakan untuk membangun Rumah Panggung Kayu di antaranya:
·    Aju panasa (kayu nangka). Kayu ini biasanya khusus digunakan untuk tiang pusat rumah (posi bola).
·    Aju bitti, aju amara, dan aju jati. Ketiga jenis kayu ini dapat digunakan untuk keseluruhan tiang, selain tiang pusat rumah. Namun jika menggunakan kayu jati, jumlahnya harus lebih dari satu, karena kata jati oleh orang Bugis ditafsirkan sebagai maja ati (berhati jelek atau jahat). Selain itu, banyak orang yang akan iri dan dengki kepada si pemilik rumah jika menggunakan kayu jati.
·    Aju ipi, aju seppu, dan batang kelapa. Ketiga jenis kayu ini digunakan untuk arateng, yaitu balok pipih panjang berderet ke belakang yang berfungsi mengikat tiang pada bagian tengah rumah. Ketiga jenis kayu ini juga digunakan untuk membuat pattolo riawa, yaitu balok pipih panjang yang berfungsi mengikat deretan tiang bagian tengah dari arah kanan ke kiri; dan aju lekke, yaitu balok panjang yang terletak paling atas dan berfungsi untuk menyangga atau menahan kerangka atap.
·    Aju tippulu dan batang lontar. Kedua jenis kayu ini digunakan untuk membuat pare’, yaitu balok pipih panjang berderet ke belakang sejajar dengan arateng yang berfungsi mengikat tiang-tiang sebelah atas. Panjangnya sama dengan panjang aju lekke. Selain itu, jenis kayu ini juga digunakan untuk membuat pattolo riase/padongko, yaitu balok pipih panjang yang mengikat ujung tiang bagian atas sejajar dengan pattolo riawa; dan tanebba’, yaitu balok berukuran kecil sebagai dasar dari lantai rumah dan berfungsi menahan papan yang akan menjadi lantai rumah.
·    Aju cendana. Jenis kayu ini digunakan untuk membuat barakkapu, yaitu balok kecil yang merupakan dasar dari lantai rakkeang (loteng).
·    Bambu, digunakan untuk membuat addeneng (tangga), salima (lantai), dan rènring  (dinding).
·    Daun rumbia, ijuk, nipah, ilalang, digunakan untuk membuat atap. Ijuk dan nipah biasanya digunakan khusus untuk Saoraja, sedangkan daun rumbia dan ilalang digunakan untuk Bola. Dalam perkembangannya, saat ini sudah banyak yang menggunakan seng, sirap, dan genteng.
b. Tenaga
Sebelumnya disebutkan bahwa masyarakat tradisional Bugis senantiasa mempertimbangkan keselamatan ketika akan mendirikan rumah. Oleh karena itu, mereka harus memilih tenaga ahli yang mengerti seluk-beluk adat istiadat mendirikan rumah agar terhindar dari malapetaka. Secara garis besar, tenaga yang terlibat dalam kegiatan mendirikan Rumah Panggung Kayu dibagi atas tiga macam (Mardanas, dkk. [ed.], 1985: 53), yaitu:
·    Sanro Bola (dukun rumah), yaitu orang yang dianggap ahli tentang tipe-tipe bangunan, nilai-nilai yang terkandung dalam bangunan itu, serta mengetahui jenis-jenis kayu yang cocok untuk digunakan. Keahlian Sanro Bola tersebut diperoleh melalui pengalaman yang ditopang oleh ilmu yang diwarisi secara turun-temurun dari nenek moyang. Pewarisannya bisa melalui praktek langsung ataupun secara tertulis berupa naskah Lontarak khusus mengenai rumah. Sanro Bola bertugas mempimpin pendirian rumah dari awal hingga selesai. Secara rinci, tugasnya adalah mengetahui jumlah bahan, biaya, dan tukang yang dibutuhkan, tipe-tipe kayu yang cocok, serta waktu dan tempat yang baik.
·    Panre Bola (tukang), yaitu orang yang terampil dan mengetahui teknik membuat rumah, yang biasanya tanpa menggunakan gambar. Namun, ia bekerja berdasarkan petunjuk Sanro Bola.
·    Tenaga pembantu umum, yaitu tenaga pembantu yang terdiri dari keluarga dekat pemilik rumah, baik dari pihak suami maupun istri, dan tetangga terdekat. Tenaga pembantu umum ini hanya bekerja pada waktu-waktu tertentu, yaitu ketika ada pekerjaan yang membutuhkan tenaga yang banyak, seperti mappakkatang (menyerut), mappatama arateng dan pattolo (mamasang kerangka rumah), dan mappatettong bola (mendirikan kerangka rumah). Tenaga pembantu ini bekerja secara sukarela sebagai bentuk solidaritas tanpa mengharapkan balasan, yang dalam bahasa Bugis disebut dengan situru-turungi.
3. Tahapan Mendirikan Rumah Panggung Kayu
a. Tahap Persiapan
Tahap persiapan mendirikan Rumah Panggung Kayu dimulai dari musyawarah keluarga. Dalam pertemuan ini dibicarakan mulai dari tipe dan ukuran rumah, waktu dan tempat mendirikan rumah, bahan dan biaya yang dibutuhkan, hingga ke pembagian tugas (baik tugas individu maupun berkelompok). Persoalan pertama yang dibicarakan adalah status sosial calon penghuni rumah, sebab status sosial tersebut sangat menentukan tipe dan bentuk rumah yang akan dibangun.
Kedua, menentukan ukuran rumah. Sedikitnya ada dua cara untuk menentukan ukuran rumah, yaitu diukur secara spasial vertikal (tinggi bagian bawah, tengah, dan atas), dan spasial horizontal (panjang dan lebar). Secara spasial vertikal, ukuran tinggi bagian bawah (kolong) dan bagian tengah (alè bola/badan rumah) diambil dari ukuran tinggi suami penghuni rumah, yaitu diukur dari ujung kaki hingga telinga dalam posisi berdiri, kemudian diukur dari lantai sampai mata dalam posisi duduk. Hasil dari kedua pengukuran tersebut kemudian dijumlahkan. Sementara untuk ukuran bagian atas (puncak rumah) diambil dari seperdua panjang pattolo riase, lalu ditambah dua jari dari istri penghuni rumah. Misalnya, panjang pattolo riase 7 m, maka tinggi puncak rumah itu 7/2 + 2 jari istri penghuni rumah. Secara spasial horizontal, ukuran panjang dan lebar rumah biasanya menggunakan rèppa (depa) dan jakka (jengkal) penghuni rumah.
Ketiga, menentukan waktu. Orang Bugis meyakini bahwa terdapat waktu yang baik dan buruk dalam memulai sesuatu pekerjaan. Oleh karena itu, pemilihan waktu sangat penting untuk memastikan hasil positif suatu usaha (Robinson, 2005: 282). Ketika hendak mendirikan rumah, orang Bugis selalu mencari waktu yang baik, dengan harapan si penghuni rumah akan selamat, murah rezeki, dan segala yang dicita-citakan akan tercapai. Waktu-waktu yang dianggap baik, di antaranya mappongngi Arabae (hari Rabu pertama pada setiap bulan), cappu Kammisi (setiap hari Kamis terakhir setiap bulan). Adapun waktu-waktu yang dianggap buruk, yaitu mula Kammisi (hari Kamis pertama pada setiap bulan), cappu Araba (hari Rabu terakhir setiap bulan), hari Senin yang bertepatan hari ke-13 sampai ke-16 setiap bulan, dan uleng taccipi atau bulan terjepit (bulan yang diapit oleh Hari Raya Idul Fitri dan Idul Adha, yaitu bulan Zulkaidah). Menurut Robinson, bulan-bulan yang dianggap buruk dalam penanggalan Islam adalah Muharram, Raibi’ul-awal, Jumadil-akhir, dan Syawal (Robinson, 2005: 282).
Keempat, menentukan tempat dan arah rumah. Tanda-tanda tanah yang dianggap baik untuk mendirikan rumah di antaranya memiliki kemiringan (di mana air bisa mengalir), rasanya kemanis-manisan, dan tidak ditemukan sarang ani-ani (rayap). Setelah itu, tanah tersebut harus diuji kecocokannya dengan si penghuni rumah, yaitu dengan cara meletakkan sebuah bila (buah maja) yang berisi air pada tempat di mana akan diletakkannya posi bola selama satu malam. Jika volume air dalam bila tersebut tidak bertambah, maka itu pertanda baik. Tetapi jika airnya tetap, maka hal itu berarti tidak baik. Untuk arah rumah, topografi tanah juga sangat menentukan. Bila tanahnya miring ke utara, maka rumah harus menghadap ke timur dengan pertimbangan ketentuan adat bahwa air limbah harus mengalir ke kiri. Setelah mendapat pengaruh ajaran Islam, arah rumah yang paling baik adalah menghadap ke selatan dengan anggapan bahwa Ka’bah yang berada di sebelah barat tidak boleh searah dengan kaki pada waktu tidur (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 73).
b. Tahap Pengumpulan Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan untuk mendirikan rumah Bugis biasanya diperoleh dengan cara ditebang sendiri oleh penghuni rumah, atau dibeli melalui pedagang berdasarkan petunjuk seorang Sanro Bola. Bahan yang pertama kali dicari adalah kayu untuk tiang posi bola (tiang rumah). Bagi masyarakat Bugis, posi bola merupakan soko guru bagi sebuah rumah. Oleh karena itu, bahannya harus dipilih dari pohon atau kayu yang kuat, buahnya enak dimakan, mudah didapatkan, dan memiliki nilai filosofi yang tinggi, misalnya aju panasa (kayu nangka). Panasa dalam bahasa Bugis ditafsirkan sebagai ripomanasai, yaitu “dicita-citakan”. Hal ini mengandung harapan agar apa yang dicita-citakan oleh si penghuni rumah dapat tercapai. Namun, jika kayu untuk tiang pusat ini dibeli dari pedagang, maka yang dipilih adalah kayu nangka yang disebut kalole, yaitu kayu yang masih utuh (belum pernah dibelah). Hal ini juga mengandung harapan agar si penghuni rumah senantiasa dalam keadaan utuh atau sempurna dan tidak pernah kekurangan selama menempati rumah itu (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 41).
Setelah tiang untuk posi bola diperoleh, barulah dimulai mencari kayu untuk tiang-tiang  lainnya, kemudian dilanjutkan dengan pembuatan arateng, pattolo, dan lain-lain. Namun yang perlu diperhatikan ketika memilih bahan-bahan tersebut adalah harus kayu yang berkulitas tinggi dan bernilai filosifis, misalnya kayu yang tidak pernah kena petir, ujung atau dahannya tidak bergesekan dengan dahan pohon lain, tidak menindih makhluk hidup (apalagi manusia) saat kayu itu ditebang, tidak dililit oleh tumbuhan lain, dan tidak dilobangi oleh kumbang.
c. Tahap Pembangunan
Setelah bahan-bahan yang diperlukan terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah pembuatan kerangka rumah, yang terdiri dari tiga bagian, yaitu awa bola (bagian bawah), alè bola (bagian tengah), dan rakkeang (loteng). Kerangka rumah merupakan bagian terpenting karena merupakan bagian yang menentukan kokoh atau tidaknya sebuah Rumah Panggung Kayu. Bahan untuk bagian bawah meliputi aliri, aratèng, pattolo riawa;  bagian tengah meliputi parè, tanebba, pattolo riase; dan bagian atas meliputi aju lekkè, barakkapu, patteppo barakkapu, dan aju te. Untuk itu, sebelum dilicinkan dengan menggunakan serut, bahan-bahan untuk kerangka ini biasanya direndam dalam air sungai atau rawa-rawa dalam waktu berminggu-minggu, yang dalam istilah Bugis disebut ibellang. Hal ini bertujuan agar bahan-bahan tersebut menjadi kuat dan padat sehingga tidak mudah dimakan rayap atau serangga lainnya selama rumah tersebut ditempati.
Kerangka Saoraja tampak dari sebelah kanan




 1. Pembuatan Aliri (Tiang)
Pembuatan aliri dimulai dari membuat aliri posi bola (tiang pusat rumah). Posisi tiang pusat rumah ini terletak pada baris ketiga dari depan dan baris kedua dari samping kiri. Posi bola ini menyimbolkan wanita, yaitu sebagai pemegang kendali dalam rumah tangga. Oleh karena itu, kayu yang digunakan tidak boleh asal pilih. Bagian penting lain yang perlu diperhatikan ketika memilih kayu untuk posi bola adalah pasu, yaitu bekas cabang dari pohon itu. Dalam keyakinan orang Bugis, pasu tersebut dapat mendatangkan manfaat ataupun malapetaka bagi penghuninya. Menurut Robinson (2005: 294), sebagian besar pasu mengarah kepada hal-hal negatif yang dapat mendatangkan malapeta.
Di antara pasu yang mendatangkan manfaat adalah pasu parekkuseng, yang berarti gadis-gadis di rumah itu mudah mendapat jodoh, dan pasu cabberu (tersenyum), yaitu membuat penghuni senantiasa bergembira. Adapun pasu yang membawa malapetaka di antaranya: pasu wuju (mayat), rumah tersebut sering menyebabkan kematian; pasu tomalasa (orang sakit), menyebabkan penghuni sering sakit; pasu garèppu (menghancurkan), menyebabkan tuan rumah sakit-sakitan; dan pasu panga (pencuri), menyebabkan rumah tersebut dimasuki pencuri (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 42).
2. Pembuatan Tiang Pakka (Cabang)
Tiang pakka atau cabang adalah tiang yang berfungsi sebagai penyangga tangga depan. Tiang ini menyimbolkan laki-laki, yaitu sebagai pencari nafkah yang setiap hari harus melewati tangga dan pintu depan. Setelah kedua tiang tersebut selesai, maka dilanjutkan dengan pembuatan tiang-tiang lainnya yang berjumlah sekitar 20 buah untuk bangunan Bola (rumah orang biasa). Deretan tiang ke samping dan ke belakang masing-masing berjumlah lima buah. Jarak deretan tiang ke belakang harus lebih besar daripada deretan tiang yang ke samping. Itulah sebabnya, meskipun jumlah tiang ke samping dan ke kanan sama, rumah ini tetap berbentuk persegi empat panjang.
3. Pembuatan Parewa Mallepang
Parewa mallepang adalah bahan-bahan yang berbentuk pipih, misalnya arateng, parè, pattolo, aju lekkè, pattepo barakkapu, tanèbba, aju te, dan termasuk pula balok-balok kecil. Oleh karena membuat parewa mallepang memerlukan tenaga yang banyak, maka si pemilik rumah biasanya mengundang sanak saudara atau tetangga dalam acara mappakkatang, yaitu melicinkan kayu dengan menggunakan serut. Namun, dengan perkembangan teknologi yang semakin canggih, kini pekerjaan ini hanya dilakukan oleh para tukang dengan menggunakan mesin serut.
4. Mappattama Aratèng dan Patttolo
Mappattama aratèng dan patttolo, yaitu merangkai kerangka rumah dengan cara memasukkan aratèng dan pattolo pada tiang-tiang yang telah dilubangi, dan semuanya harus dimulai dari posi bola. Yang perlu diperhatikan dalam tahap ini adalah semua pangkal kayu untuk aratèng harus berada di depan, sedangkan untuk pangkal kayu pattolo harus berada di samping kanan.
5. Mappatettong Bola (Mendirikan Kerangka Rumah)
Untuk mendirikan kerangka rumah, si pemilik rumah harus mengundang sanak keluarga dan tetangga karena pekerjaan ini memerlukan tenaga yang banyak. Mendirikan kerangka rumah harus dimulai dari deretan tiang di mana terdapat posi bola yang dipimpin oleh Sanro Bola, dan kemudian disusul oleh deretan tiang-tiang lainnya. Setelah itu, mulailah dipasang pattolo riawa dan pattolo riase untuk menahan deretan tiang agar tidak rebah. Setelah kerangka rumah berdiri, maka dipasanglah barakkapu, yaitu balok kecil-kecil yang merupakan lantai rakkeang. Kemudian disusul dengan pemasangan kerangka tempat meletakkan atap, dan atap rumah.
6. Pemasangan Pelengkap Rumah
Setelah kerangka rumah berdiri, maka proses pembuatan rumah dilanjutkan dengan pemasangan pelengkap rumah dan ornamen-ornamen lainnya agar menjadi sebuah rumah yang layak dan aman untuk ditempati, di antaranya:
·    Addeneng, yaitu tangga sebagai jalan untuk masuk ke rumah. Menurut tempatnya, addeneng dibagi menjadi tiga, yaitu addeneng pangolo (tangga depan) sebagai jalan utama masuk ke dalam rumah; addeneng monri (tangga belakang) sebagai jalan alternatif bagi penghuni rumah jika ada urusan di belakang rumah; dan addeneng rakkeang (tangga loteng) sebagai jalan naik ke loteng untuk menyimpan hasil panen. Addeneng rumah bangsawan (Saoraja) biasanya menggunakan luccureng, yaitu tempat berpegang ketika akan naik atau turun dari rumah. Bagi orang Bugis, kayu cendana tidak boleh dijadikan tangga, karena dianggap rajanya kayu yang tidak boleh diinjak.
·    Tanèbba, yaitu balok kecil-kecil yang disusun sejajar dengan pattolo dan berfungsi sebagai dasar lantai.
·    Dapara, yaitu lantai rumah yang biasanya terbuat dari kayu (papan) dan bambu yang biasa disebut salima (bambu yang telah dibelah kecil-kecil).
·    Rènring, yaitu dinding yang biasanya terbuat dari kayu atau papan (katabang), bambu (dèdde), dan daun kelapa atau nipah (addada). Menurut tempatnya, rènring dibagi menjadi empat bagian, yaitu rènring pangolo (dinding depan), rènring  uluang (dinding hulu, terletak di bagian kepala saat tidur), rènring monri (dinding belakang), dan rènring tamping (dinding hilir, terletak di bagian kaki saat tidur). 
·    Tangè, yaitu pintu yang digunakan sebagai jalan masuk/keluar rumah. Pintu ini menurut tempatnya terdiri dari dua, yaitu pintu depan dan pintu belakang.
·    Tellongèng, yaitu jendela yang digunakan untuk melihat keluar rumah dan sebagai ventilasi rumah. Jendela ini terletak pada dinding dan diapit dua buah tiang.
4. Bagian-Bagian Rumah Panggung Kayu
Secara garis besar, Rumah Panggung Kayu dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu secara spasial vertikal dan spasial horizontal. Secara spasial vertikal, Rumah Panggung Kayu digolongkan menjadi:
·    Rakkeang, yaitu bagian atas rumah yang berada di bawah atap atau langit-langit (eternit). Bagian atau ruang ini biasanya digunakan untuk menyimpan hasil panen dan  benda-benda pusaka.
·    Alè bola, yaitu badan rumah yang terdiri dari lantai dan dinding, yang terletak antara lantai dan loteng. Pada bagian ini dibuat sekat-sekat sehingga terbentuk ruang-ruang khusus seperti ruang tamu, ruang tidur, dapur, dan lain-lain.
·    Awa bola atau kolong rumah, yaitu bagian rumah yang berada di antara lantai dengan tanah. Bagian ini biasanya digunakan untuk menyimpan alat-alat mata pencaharian dan untuk berternak unggas, seperti ayam dan itik.

Kerangka Bola Ogi secara spasial vertikal tampak dari depan





Dari ketiga bagian rumah tersebut, alè bola atau badan rumah merupakan bagian yang terpenting dari Rumah Panggung Kayu, karena bagian ini merupakan tempat tinggal dan melakukan aktivitas sehari-hari. Maka secara spasial horizontal, bagian alè bola ini dibagi berdasarkan lontang atau lattè (petak) menjadi tiga bagian, yaitu:
·    Lontang risaliwèng, yaitu bagian depan yang berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat tidur tamu (biasanya dibuatkan sebuah kamar khusus), tempat bermusyawarah, dan tempat membaringkan mayat sebelum dikebumikan. Sebagai tempat berkomunikasi dengan orang luar, biasanya ruang ini dilengkapi dengan kursi atau sofa dan perabot rumah tangga. Foto-foto keluarga juga dipajang di ruangan untuk menambah keindahan dan kenyamanan tamu.
·    Lontang ritèngngah, yaitu ruang tengah yang berfungsi sebagai tempat tidur kepala keluarga bersama isteri dan anak-anaknya yang belum dewasa. Ruang ini sifatnya sangat kekeluargaan karena di ruangan inilah terjadi hubungan sosial antara sesama anggota keluarga.
·    Lontang rilalèng, yaitu ruang belakang yang berfungsi sebagai tempat tidur anak gadis, nenek/kakek, atau anggota keluarga yang dianggap perlu perlindungan atau perawatan dari seluruh keluarga.
Selain ketiga bagian atau ruang-ruang tersebut, rumah tradisional Bugis biasanya ditambahkan ruang khusus, seperti jongke/dapurang (dapur), tamping (serambi), dan lego-lego (teras). Jongke adalah ruang tambahan khusus yang dibuat untuk tempat memasak, dan penyimpanan peralatan rumah tangga. Di ruangan ini biasanya juga dibuat sebuah kamar kecil untuk keluarga. Ruangan ini terletak di bagian belakang rumah induk. Tamping adalah ruang tambahan di bagian samping kiri dan kanan rumah induk dengan bentuk memanjang ke belakang, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan barang-barang atau hasil panen. Sedangkan lego-lego adalah ruang tambahan yang dibuat di depan rumah induk. Ruang tambahan ini berfungsi sebagai tempat keluarga bersenda gurau dan tempat duduk tamu sebelum dipersilakan masuk ke dalam rumah.
5. Ragam Hias dan Ornamen
Ragam hias pada Rumah Panggung Kayu tidak hanya sebagai perhiasan, tetapi juga mempunyai simbol status sosial bagi pemiliknya dan mengandung nilai-nilai filosofis yang tinggi. Seperti halnya rumah-rumah tradisional pada umumnya, ragam hias rumah tradisional ini mengambil pola dasar dari corak alam, flora, dan fauna. Ragam hias flora yang paling menonjol pada rumah tradisional Bugis adalah bunga parenreng, artinya bunga yang menarik. Jenis bunga ini hidup dengan cara melata dan menjalar ke mana-mana bagai tak ada putus-putusnya. Hal ini mengandung makna bahwa si penghuni rumah akan mendapat rezeki yang tidak ada putus-putusnya. Ragam hias ini biasanya ditempatkan pada jendela, induk tangga, dan tutup bubung (timpak laja). Penempatan ragam hias ini pada tempat-tempat yang mudah dilihat dimaksudkan sebagai penguat keyakinan bagi si penghuni rumah, bahwa rezeki akan terus mengalir jika mereka senantiasa berusaha (Mardanas, dkk., (ed.), 1985: 55-56).
Ragam hias fauna yang menonjol pada rumah tradisional Bugis terdapat tiga macam, yaitu ragam hias ayam jantan, kepala kerbau, dan naga. Ragam hias ayam jantan merupakan simbol keuletan dan keberanian, sedangkan kepala kerbau adalah simbol kekayaan dan ketinggian status sosial pemiliknya. Ragam hias kepala kerbau ini biasanya terdapat pada rumah raja/bangsawan (Saoraja). Adapun ragam hias bentuk naga merupakan simbol wanita yang lemah lembut tapi memiliki kekuatan dahsyat (http://syahriartato.wordpress.com). Bentuk ragam hias fauna ini pada umumnya ditempatkan pada bubungan atap rumah atau timpak laja
Ragam hias Saoraja dengan corak ayam jantan




6. Nilai-Nilai
Nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur Rumah Panggung Kayu di antaranya adalah nilai falsafah, status sosial, estetika, dan kesatuan hidup keluarga. Nilai yang paling mendasar pada konstruksi rumah ini adalah nilai falsafah, yaitu pandangan kosmologi orang Bugis yang menganggap bahwa makrokosmos terdiri atas tiga tingkat. Perwujudan dari pandangan ini dapat dilihat pada konstruksi bangunan rumahnya yang dipandang sebagai mikrokosmos, yang terdiri dari tiga tingkat yaitu rakkeang, alè bola, dan awa bola. Mereka beranggapan bahwa menjaga keharmonisan makrokosmos dengan mikrokosmos niscaya akan mendatangkan ketenangan, kesejahteraan, dan kedamaian.
Nilai status sosial pada bangunan Rumah Panggung Kayu dapat dilihat pada bentuk timpak laja atau tutup bubungan rumahnya. Bentuk tutup bubungan rumah bangsawan (Saoraja) bertingkat-tingkat, sedangkan bubungan rumah rakyat biasa (Bola) bentuknya polos. Perbedaan lain juga dapat dilihat dari bentuk tangga, di mana tangga rumah bangsawan memiliki luccureng (tempat berpegang), sedangkan tangga rumah orang biasa tidak ada. Demikian pula pada ukuran rumah, di mana rumah bangsawan umumnya lebih besar daripada rumah orang biasa. Perbedaan-perbedaan tersebut menunjukkan bahwa di dalam masyarakat orang Bugis terdapat perbedaan status sosial.
Nilai yang tak kalah menariknya dari bangunan Rumah Panggung Kayu ini adalah nilai estetikanya. Bentuknya persegi empat panjang dan ditopang oleh tiang-tiang yang diatur rapi. Seluruh sisi-sisinya dibalut dinding-dinding dan dilengkapi dengan jendela, dan bagian atasnya ditutup dengan atap yang berbentuk prisma. Nilai estetika lainnya terdapat pada kesatuan dan keserasian pelengkapnya. Hal ini terlihat pada keserasian antara besar tiang dengan tebal pattolo dan aratèng, antara tinggi kolong dengan tinggi dindingnya, maupun keserasian antara besar badan rumah dengan tinggi puncaknya. Selain itu, rumah tradisional Bugis juga dilengkapi dengan ragam hias yang meliputi corak alam, flora, dan fauna, yang semuanya memiliki nilai estetika dan arti simbolik.
Bangunan rumah tradisional Bugis ini juga mengandung nilai kesatuan hidup keluarga, yaitu kesatuan hidup suami istri dalam berumah tangga. Bagi orang Bugis, sebuah rumah akan dianggap sempurna jika memiliki dua tiang utama, yaitu tiang posi bola dan tiang pakka. Tiang posi bola menyimbolkan wanita (ibu rumah tangga) yang bertugas menyimpan dan mengelola semua nafkah yang diperoleh suami, serta menjaga keharmonisan keluarga. Sementara tiang pakka sebagai sandaran tangga menyimbolkan laki-laki (kepala rumah tangga) yang bertugas memikul tanggung jawab keluarga, yakni mencari nafkah. Oleh karena itu, jika kepala rumah tangga ingin menaikkan atau memasukkan bahan kebutuhan rumah tangga ke dalam rumah, maka ia harus melalui tangga depan.
7. Penutup
Arsitektur Rumah Panggung Kayu merupakan perwujudan nilai-nilai yang dianut dan dipelihara oleh masyarakat Bugis di Sulawesi Selatan. Nilai-nilai tersebut antara lain adalah nilai falsafah hidup tentang kosmologi, nilai sosial, nilai estetika, dan nilai tatanan hidup berumah tangga. Sebagai hasil karya, rumah tradisional Bugis ini niscaya akan mengalami perubahan. Di daerah perkotaan, arsitektur rumah ini cenderung mengalami perubahan, baik karena pengaruh dari luar maupun bentuk topografi tanah di kota yang relatif sempit. Meski demikian, rumah-rumah di perkotaan masih memperlihatkan nilai arsitektur Bugis, misalnya masih menggunakan timpak laja atau tutup bubungan untuk memberi identitas sosial bagi penghuninya. Hal ini membuktikan bahwa nilai-nilai yang terkandung dalam arsitektur Rumah Panggung Kayu masih mampu bertahan hingga zaman modern ini.


Rumah Tongkonan






Rumah Tongkonan adalah sebuah rumah adat yang berasal dari Sulawesi Selatan atau yang lebih dikenal sebagai rumah adat masyarakat Toraja. Rumah yang bentuknya seperti perahu ini, terdiri atas susunan bambu (pada era sekarang sudah menggunakan seng), di deretan depannya terdiri dari deretan tanduk kerbau yang sesuai dengan acara adat didaerah tersebut, sedangkan bagian dalamnya dijadikan sebagai ruang tidur dan dapur, Tongkonan juga bisa digunakan untuk tempat penyimpanan mayat, Tongkonan sendiri berasal dari kata Tongkon (duduk bersama sama), seperti dalam rumah daerah lain rumah ini pun memiliki beberapa jenis yang melambangkan tingkatan sosial dalam masyarakat.  Di bagian depan tongkonan terdapat lumbung padi yang berukirkan ayam dan matahari sebagai simbul menyelesaikan masalah, biasanya lumbung padi terbuat dari pohon palm(bengah) namun sekarang sudah menggunakan cor.
Seperti di Sillanan-Pamanukan (Tallu Lembangna) atau yang dikenal sebagai Ma’duangtondok terdapat dua Tongkonan yaitu Tongkonan Karua (Delapan rumah tongkonan) dan Tongkonan A’pa’ (empat rumah tongkonan) yang masing-masing terdiri dari :
Tongkonan karua terdiri dari:
  1. Tongkonan Pangrapa’(Kabarasan)
  2. Tongkonan Sangtanete Jioan
  3. Tongkonan Nosu (To intoi masakka’na)
  4. Tongkonan Sissarean
  5. Tongkonan ToPanglawa padang
  6. Tongkonan Tomanta’da
  7. Tongkonan To’lo’le Jaoan
  8. Tongkonan ToBarana’
Tongkonan A’pa’ terdiri dari:
  1. Tongkonan Peanna Sangka’
  2. Tongkonan To’induk
  3. Tongkonan Karorrong
  4. Tongkonan Tondok Bangla’ (Pemanukan)
Seperti dikatakan diatas tadi bahwa Rumah adat tongkonan ini berdasarkan dari tingkat strata masyarakat, artinya rumah adat dikatakan sebagai Tongkonan kalo memiliki sejarah turun temurun sebagai pewaris kalangan tertentu yang mempunyai mandat untuk melanjutkan tongkonan tersebut, dan ke-12 Tongkonan diatas dinyatakan sebagai Tongkonan yang memiliki sejarah tersebut.
***

Referensi
·    Elizabeth Morrel. 2005. “Simbolisme, ruang, dan tatanan sosial”, dalam Tapak-tapak waktu: kebudayaan, sejarah, dan kehidupan sosial di Sulawesi Selatan. Makassar: ININNAWA.
·    Izarwisma Mardanas, dkk. 1985. Arsitektur tradisional daerah Sulawesi Selatan. Ujung Pandang: Proyek Inventarisassi dan Dokumentasi Kebudayaan Daerah Departemen Pendidikan dan Kebudayan.
·    Kathryn Robinson. 2005. “Tradisi membangun rumah di Sulawesi Selatan”, dalam Tapak-tapak waktu: kebudayaan, sejarah, dan kehidupan sosial di Sulawesi Selatan. Makassar: ININNAWA.
·    Nurhayati Djamas. 1998. Agama orang Bugis. Jakarta: Badan dan Pengembangan Agama Departemen Agama RI.

Sumber